Tuesday, August 8, 2017

Lakina Wali Ke-XXIII (La Ode Madiambo/1935-1946 M) & Lakina Wali Ke-XXIV (La Ode Hasahu Tarahayani/2013-Sekarang)

Pada masa pemerintahan Lakina Wali ke-23 La Ode Madiambo pernah kedatangan sanggila/pengacau dari Tobelo terakhir untuk merampok di Binongko. Maka Beliau ini menggerakkan pasukan Raja Wali sehingga perahu perang Tobelo dapat dimusnahkan. (La Rabu Mbaru, 2016: 111).
Sejak Kesultanan Buton bergabung menjadi bagian wilayah NKRI pada 1946, itu berarti menandakan berakhirnya kekuasaan kesultanan dan secara langsung hal itu juga mengakhiri pemerintahan adat (sarano) Wali atau Lakina Wali selama 67 tahun, dari 1946 sampai 2013. Melalui kesepakatan bersama dan beberpa kali musyawarah, maka Sara Hu’u dan Sara Agama memutuskan untuk membentuk kembali pemerintaha adat Binongko.

Pada 28 Agustus 2013 pukul 09.00 pagi bertempat di Baruga Sarano Wali Kelurahan Wali Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi, maka Sara Hu’u/ Tokoh Adat dan Sara Agama (Tokoh Agama) sebagai Sara Hukumu (Sara Pemberi Keputusan), memutuskan dan menetapkan La Ode Hasahu Tarahayani sebagai Lakina Wali ke-24 dan menjabat sampai sekarang. Laode Hasahu Tarahayani berdasarkan silsilah Lakina Wali merupakan cucu Lakina Wali ke- 22 La Ode Arasa dan Lakina Wali ke-23 La Ode Madiambo. (La Rabu Mbaru, 2016: 145).

Lakina Wali Ke-XXII (La Ode Arasa/La Ode Arasi/1927-1935 M)

La Ode Arasa/La Ode Arasi sebagai Lakina Wali ke-22, bersama Bonto Siolimbona Haji Tahiri Mansuana, dan Lakina Agama La Ode Jaidi, selalu bersama dalam mengatur dan melindungi masyarakat Binongko. Pada suatu saat di Wali didatangi oleh Bangsawan Buton dan beberapa orang Kolonial Belanda dengan senjata lengkap dalam rangka kerja paksa Rodi untuk meneruskan
pekerjaan jalan keliling Binongko dan sebagian masyarakat Binongko dipekerjakan
dipenggalian Aspal Buton di Kabongka. (La Rabu Mbaru, 2016: 110)

Lakina Wali Ke-XXI (La Ode Potemba/1922-1927 M)

La Ode Potemba bergelar Iyaro Wasintalalo (kecintaan yang sangat dalam terhadap rakyat Binongko) karena beliau dalam memikul tanggung jawab sebagai Lakina Wali ke-21 atau Kepala Pemerintahan Adat (Sarano) Wali Binongko selalu melindungi rakyatnya dari segala perbudakan para bangsawan tertentu yang tidak punya perikemanusiaan dan perikeadilan. Mereka tidak sadar bahwa manusia ciptaan Allah Swt. yang sama-sama punya perasaan (penamisi) yang pada suatu saat nanti kita kembali menghadap kepada-Nya, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selama hidup di dunia. (La Rabu Mbaru, 2016: 110)

Lakina Wali Ke-XX (La Ode Falisu/1916-1922M)

Selama 6 tahun La Ode Falisu menjalankan tugas sebagai Lakina Wali ke-20, kemudian pada tahun 1922 La Ode Falisu meninggal dunia di Wali dan berdasarkan keputusan sarano wali digantikan oleh adiknya bernama La Ode Potemba. (La Rabu Mbaru, 2016: 110).

Lakina Wali Ke-XIX (La Ode Aode/1899-1916 M)

La Ode Aode (Suami Wa Opu Loji) menjadi Lakina Wali ke-19 menggantikan mertuanya La Ode Murjani/Antar Maedani yang telah menjadi Sapati/Wakil Sultan Buton ke-32. Selama 17 tahun La Ode Aode menjalankan tugas sebagai Lakina Wali, tentunya di sana sini selalu ada tantangan dari berbagai pihak dalam melindungi rakyatnya. Tindakan kekerasan para penjajah menjadi jadi terhadap masyarakat lemah. (La Rabu Mbaru, 2016: 110).

Lakina Wali Ke-XVIII (La Ode Murjani/1890-1899 M)

La Ode Murjani atau bergelar Antara Maedhani adalah Lakina Wali Ke-XVIII (1890-1899 M). Pada tahun 1890, La Ode Murjani diangkat oleh Sarano Wali menjadi Lakina Wali ke-18 menggantikan Lakina Wali ke-17 La Ode Bangge. Pada masa pemerintahannya, ia bersama dengan La Ode Gorau (La Ode Burkene), La Ode Riende (Amaraba’ani) dan La Ode Ali Manangi sangat berjasa besar dalam memenangkan perang melawan La Cadi di Bombana Wulu Muna atas nama Kesultanan Buton. (La Rabu Mbaru, 2016: 109)

Lakina Wali Ke-XVII (La Ode Bangge/1885-1890 M)

Lakina Wali La Ode Bangge menerima tongkat Lakina Wali ke-17 dari Lakina Wali ke-16 La Ode Alimanangi berdasarkan musyawarah adat Wali. La Ode Bangge punya anak bernama La Ode Banggai penurun Iyaro Kapota dan Iyaro Liya. Karena usia La Ode Bangge sudah cukup tua lalu Beliau ini menyerahkan tongkat Lakina Wali kepada La Ode Murjani sesuai permintaannya yang juga sesuai hasil musyawarah adat Wali. La Ode Bangge memerintah menjadi Lakina Wali selama 5 tahun. Makam La Ode Bangge terdapat di Laandi andi Wali Binongko. (La Rabu Mbaru, 2016: 108).

Lakina Wali Ke-XVI (La Ode Alimanangi/1875-1885 M)

Kolaki La Ode Alimanangi memliki jiwa pemberani dalam memperjuangkan kebenaran sehingga masih dalam menjabat sebagai Lakina Wali ke-16 jiwanya sudah terpanggil untuk menjadi pahlawan Kesultanan Buton sehingga dalam jangka waktu 10 tahun dalam pemerintahannya, beliau menyerahkan jabatan Lakina Wali kepada La Ode Bangge yang juga dari keluarganya sendiri untuk melanjutkan roda pemerintahannya. Hal itu bertujuan agar mereka berdua segera turun ke Wolio sesuai amanah Sultan untuk membantu memikirkan keresahan Sultan Buton ke-32 Sultan Kaimuddin Muhammad Umara dalam menghadapi serangan La Cadi di Wuna (Muna). Pada masa itulah Sultan Kaimuddin Muhammad Umara selalu meminta saran dan pendapat mereka tentang keselamatan Negeri Buton. (La Rabu Mbaru, 2016: 108)


Lakina Wali Ke-XV (La Ode Bello/1865-1875 M)

Kolaki La Ode Bello sebagai Lakina Wali ke-15 menerima mandat dari kakak kandungnya yang telah direstui oleh Sara Adat Wali untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai aturan Agama dan aturan Adat, sebagaimana yang telah tertuang dalam pake (adat istiadat) Wali yang telah lama berakar. Ia menjalankan roda Adat Sarano Wali Pulau Binongko selama 10 tahun yang kemudian digantikan lagi adiknya bernama La Ode Alimanangi yang juga telah disepakati oleh Sara Adat Wali. Makam La ode Bello ada di Laandi andi Wali Binongko. (La Rabu Mbaru, 2016: 108).

Lakina Wali Ke-XIV (La Ode Gorau/1835-1865M)

Selanjutnya, setelah La Ode Asibati wafat, maka yang menggantikan posisinya ialah La Ode Gorau/Iyaro Motondu i Pasi/Iyaro Burkene (1835-1865M) sebagai Lakina Wali Ke-XIV. Di masa pemerintahannya, ia dikenal cukup rajin dan cinta laut, suka memancing di karang bersama cungguno pasi/parika tai (penjaga pantai/pengatur lokasi nelayan). Adapun karang atau pulau yang mereka kunjungi adalah Karang Koko, Karang Koromaha, Pulau Moromaho, Pulau Cuwu-Tuwu dan Pulau Kente Olo yang termasuk dalam kadie (wilayah) Binongko. Pada saat ia memancing di Karang Koromaha sebagai batas kadie (wilayah) Binongko dengan Tomia, bhangka (perahu) kecil yang ia tumpangi itu diterjang ombak besar maka secara perlahan perahu itu tenggelam. Atas pertolongan Allah Swt sehingga datanglah segerombolan “Ikan Layar” dalam bahasa wali di sebut isa kopangawa atau surei sampulawa. Dengan bantuan ikan layar inilah, ia dibawa sampai tiba di pantai Wali Binongko. Sehingga La Ode Gorau digelari sebagai Iyaro Motondu Ipasi (mantan tenggelam di Karang). (La Rabu Mbaru, 2016)
Pada masa pemerintahan Sultan Buton Ke-XII/Sultan Kaimudin Muhammad Umara, memerintahkan untuk memanggil La Ode Gorau dengan maksud untuk melawan La Cadi (pemimpin bajak Tobelo). Sebab setiap orang yang melawan La Cadi selalu dikalahkan. Mendengar hal itu, La Ode Gorau mengusulkan salah seorang pemuda dari Binongko untuk melawan La Cadi dan pemuda itu bernama La Ode Murjani.


Lakina Wali Ke-XIII (La Ode Asibati/1835-1840M)

Berdasarkan Culadha Taape-Tape, La Ode Asibati lahir di Kalukuna Tanah Buton, lalu ia menikah di Wali Binongko dengan seorang perempuan bernama Wa Ode Toratea adik kandung La Ode Hasi (Lakina Wali ke-12). Maka, setelah La Ode Hasi meninggal dunia, Sarano Wali melantik adik ipar La Ode Hasi bernama La Ode Asibati menjadi Lakina Wali Ke-XIII. Pada masa pemerintahan La Ode Asibati sebagai Lakina Wali Ke-XIII ini, banyak orang Binongko yang hijrah keluar daerah, akibat kekejaman Kolonial Belanda yang memaksa rakyat untuk bekerja tanpa di upah atau Hardinsi (Rodi) dalam pembuatan jalan keliling Pulau Binongko, kerja paksa penggalian aspal Buton di Kabongka Buton, dan pengeringan pantai Mandati di Wanci. Saa itu masyarakat Binongko memilih untuk berhijrah ke NTT, NTB, Maluku, maupun ke Banda Naira. ( La Rabu Mbaru, 2016: 105).

Lakina Wali Ke-XII (La Ode Hasi/1825-1835M)

Pada 1825 La Ode Haseha wafat dan yang menggantikan posisinya ialah cucunya La Ode Hasi sebagai Lakina Wali Ke-XII. La Ode Hasi/Iyaro Tadhu (1825-1835M), termasuk orang yang dermawan dan suka bersedekah pada orang yang tidak mampu. Ia menciptakan persatuan dan kesatuan antar sesama untuk saling menolong baik suka maupun duka. Beliau sering dikenal pula dengan nama Waopu Tadhu karena ia bersama keluarganya tinggal di Tadhu (Tanjung) Kokobuta Wali. Pada tahun 1835 La Ode Hasi wafat di Wali dan yang menggantikan poisinya adalah La Ode Asibati. (La Rabu Mbaru, 2016:105)

Lakina Wali Ke-XI (La Ode Haseha /1815-1825 M)

Lakina berikutnya adalah La Ode Haseha (1815-1825 M) atau Lakina Wali Ke-XI. Pada masa pemerintahannya, beliau selalu berpedoman pada aturan adat Tolu Mingku We’eli (tiga perbuatan akhlak manusia) sebagaimana yang telah diterapkan para pemimpin sebelumnya. Terbukti di dalam menjalankan tugasnya, beliau mengeluarkan maklumat bahwa barang siapa yang melakukan kejahatan penganiayaan maka masyarakat harus berani melawan dan melaporkan pada Pemerintahan Adat Sarano Wali Binongko di Wali untuk diproses secara hukum sara. (La Rabu Mbaru, 2016: 104).

Lakina Wali Ke-X (La Ode Mpurege/1810-1815 M)

Setelah berakhir masa kepemimpinan La Ode Sapati, maka tampuk pemerintahan Lakina Wali dipercayakan kepada La Ode Mpurege sebagai Lakina Wali Ke-X (1810-1815 M). Pada masa pemerintahannya, saat itu keamanan Pulau Binongko agak terganggu akibat kedatangan oleh Ewali/Sanggila (bajak laut) dari Tobelo. Namun La Ode Mpurege sangat agresif dalam menggerakkan pasukan pajore Raja Wali untuk menggempur pasukan Ewali/Sanggila Tobelo di pantai Yoro Wa Ode Gowa sampai berhasil. Selama lima tahun dalam mengabdikan diri sebagai Lakina Wali, beliaupun wafat di Wali pada tahun 1815 dan sebagai penggantinya ada La Ode Haseha. (La Rabu Mbaru, 2016: 104).

Lakina Wali Ke-IX (La Ode Sapati/1802-1810 M)

Sesuai wasiat La Ode Mendow bahwa yang akan meneruskan sebagai Kepala Pemerintahan Adat Sarano Wali Binongko (Lakina Wali Ke-IX) setelah dirinya wafat adalah La Ode Sapati adiknya sendiri yang tinggal di Cira Sampulawa. Setelah La Ode Mendow wafat, maka Sultan Buton ke-27 Sultan Dayanu Asraruddin (Oputa Lakina Agama La Badaru/1799-1823) menunjuk La Ode Sapati (1802-1810 M) untuk menjadi Lakina Wali Ke-IX Pulau Binongko sesuai wasiat La Ode Mendow yang disetujui oleh Sarano Wali. (Wa Nubu, Wawancara, 29 Maret 2017)

 Dalam masa pemerintahannya sebagai Lakina Wali Ke-IX, beliau meneruskan peradaban Binongko dengan gigih serta memanggil masyarakat Binongko yang masih di daerah lain untuk kembali ke Binongko. Sebab La Ode Sapati lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan, sehingga para pelaku kerusakkan tidak bisa berbuat apa-apa. Pada tahun 1810 beliau wafat di Wali dan dimakamkan di Pantai Lakapuge Wali dan selanjutnya kepemimpinannya digantikan oleh La Ode Mpurege. (La Rabu Mbaru, 2016: 103).

Lakina Wali Ke-VIII (La Ode Mendow/1792-1802 M)

 La Ode Mendow merupakan penerus tahta Lakina Wali selanjutnya. Sejak berusia remaja beliau telah diwarisi sikap kepahlawanan oleh kakeknya La Ode Katimanuru. Sebagai Lakina Wali Ke-VIII La Ode Mendow sangat berani seperti kakeknya, tidak gentar dalam menghadapi berbagai persoalan. Meskipun Bangsawan Buton dan Kolonial Belanda datang merayu dengan berbagai janji untuk bekerja sama, namun La Ode Mendow tidak mau bekerja sama dengan penjajah. Beliau rela mati demi Binongko dengan semboyan Mate Wambaja Aso Waliwu. 

 Sekitar tahun 1798 datang pula Ewali (Musuhnya Wali) atau sering disebut Sanggila yaitu pembajak dari Tobelo dan menyerang Binongko. Mereka berlabuh di Pantai Yoro Wa Ode Gowa, namun pada akhirnya dapat ditumpas habis oleh pasukan Raja Wali dibawah pimpinan Lakina Wali La Ode Mendow. Akibat faktor keamanan terganggu, La Ode Mendow menyarankan kepada rakyat Binongko agar menyingkir di daerah lain. Maka dari itu orang Binongko menyingkir jauh dengan berlayar menuju daerah aman. Namun kemudian Sultan Buton Ke-27/Dayanu Asraruddin (1799-1823) memerintahkan untuk kembali ke Pulau Binongko, tetapi ada juga sebagian masyarakat Binongko memilih tidak kembali dan menetap dipulau yang dituju. (La Rabu Mbaru, 2016: 103)

Lakina Wali Ke-VII (La Ode Katimanuru/1785-1792 M)

Lakina Wali berikutnya adalah La Ode Katimanuru dan beregelas sebagai Lakina Wali Ke-VII. Dijelaskan dalam Culadha Tape-Tape, La Ode Katimanuru dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan pro-rakyat. Terbukti beliau bersama tokoh agama, berusaha membela dan melindungi masyarakat Pulau Binongko dari gangguan bangsawan Buton yang suka memeras, membuat kerusakan, serta merampas hak rakyat kecil yang dimotori oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Akibat berbagai paksaan, penderitaan dan penindasan yang dirasakan oleh masyarakat Binongko, sehingga La Ode Katimanuru bersama para tokoh lainnya secara diam-diam menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman pemerintah kolonial Belanda dengan tekad Mate Wambaja Aso Waliwu, artinya biar nyawa berpisah dengan badan yang penting untuk negara. Selama tujuh tahun mengabdi sebagai Lakina Wali Ke-VII pada masyarakat Binongko, beliapun wafat dan dimakamkan di dalam Benteng Oihu Wali. Lalu kepemimpinanya diteruskan oleh cucunya bernama La Ode Mendow sebagai Lakina Wali Ke-VIII. Dengan sifat kepahlawanan La Ode Katimanuru dalam membela rakyat Binongko sehingga beliau digelari oleh Sarano Wali Binongko dengan nama Jampu, artinya dalam dirinya tersimpan berbagai kebaikan dan patut di contohi. Sampai kini makam   La Ode Katimanuru sering dikenal dengan nama Kubur Jampu Oihu. (La Rabu Mbaru, 2016)

Lakina Wali Ke-VI (La Ode Ruba/1782-1785 M)

Lakina Wali berikutnya ialah La Ode Ruba dan bergelar sebagai Lakina Wali Ke-VI (1782-1785 M), menggantikan Lakina Wali Ke-V La Ode Luba. Sama seperti Lakina Wali sebelumnya, ia juga adalah seorang nakhoda kapal yang sering mengunjugi pulau-pulau di nusantara. Pada saat La Ode Ruba bersama anak buahnya mengunjungi Pulau Buru dalam rangka mencari muatan, tiba-tiba cuaca buruk datang secara mendadak. Karena kondisi kapalnya dalam keadaan rusak merekapun menelusuri pantai Pulau Buru sampai akhirnya mereka menemukan sebuah perkampungan masyarakat lokal. Dikampung inilah mereka kembali membuat kapal serta La Ode Ruba sempat menikahi perempuan di kampung tersebut. Masyarakat Binongko menyebut kampung tersebut dengan sebutan Wai Ruba dan sejak dahulu sampai sekarang kampung tersebut dijadikan sebagai persinggahan kapal-kapal dari Binongko. Selama tiga La Ode Ruba menjalankan tugas sebagai Lakina Wali Ke-VI, akhirnya pada 1785 beliau wafat. Namun sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada Sarano Wali bahwa yang akan menggantikan posisinya adalah La Ode Katimanuru. (La Rabu Mbaru, 2016)

Lakina Wali Ke-V (La Ode Luba/1774-1782 M)

Lakina Wali berikutnya adalah La Ode Luba dan bergelar sebagai Lakina Wali Ke-V (1774-1782 M). Pada masa pemerintahan La Ode Luba, perkampungan kecil yang masih berada di gunung secara bertahap diperintahkan turun ke pesisir pantai. La Ode Luba juga sering disebut Iyaro Wali Waopu Kolowu karena sebelum menjadi Lakina/Kolaki Wali, beliau tinggal di Kolowu Patua (lembah Patua). La Ode Luba juga sebagai seorang nahkoda kapal dan sering melakukan pelayaran meskipun dalam cuaca buruk.
Makam Lakina Wali Ke-V/La Ode Luba

Lakina Wali Ke-IV (La Ode Kacinga/1750-1774 M)

Pemegang tahta berikutnya adalah La Ode Kacinga dan bergelar sebagi Lakina Wali Ke-IV (1750-1774 M). Pada masa pemerintahan Lakina Wali Ke-IV La Ode Kancinga, semua aturan agama dan adat ditegakkan kembali sesuai yang dilakukan oleh Lakina Wali sebelumnya.  Semua kampung dalam setiap kadie (wilayah) baik kampung besar maupun kampung kecil yang terpisah jauh dengan kampung besar harus memiliki masjid atau tempat pengajian agar ajaran agama Islam tetap berakar di hati setiap orang Binongko. Dan untuk mempermudah dalam melancarkan jalannya roda pemerintahan di kampung-kampung, maka ia merekomendasikan Sarano Wali untuk membagi Pulau Binongko yang saat itu berpusat di Wali  menjadi 3 kadie (wilayah) masing-masing, yaitu Kadie (wilayah) Sarano/Lakina Wali, Kadie (wilayah) Sarano Bonto Popalia, dan Kadie (wilayah) Sara Jou Palahidu. (La Rabu Mbaru, 2016).

Lakina Wali Ke-III (La Ode Mimbara/1721-1751 M)

Sepeninggal La Ode Konse, maka yang memegang tampuk kekuasaan berikutnya adalah La Ode Mimbara sebagai Lakina Wali Ke-III (1721-1751 M). Pada masa pemerintahannya, ia mempunyai inisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan Lakina Wali dari Benteng Koncu Patua Wali ke Benteng Raja Wali yang sekarang menjadi Kelurahan Wali melalui musyawarah adat di Baruga Sarano Wali  Koncu Patua. Menurut tradisi Culadha Tape-Tape dituturkan bahwa La Ode Mimbara inilah yang meletakkan kabhelai (batu dan tiang pertama) pembangunan Masjid Wali dan Baruga Sarano Wali setelah dipindahkan dari Koncu Patua Wali ke Benteng Raja Wali pada tahun 1721 Masehi. Selain itu, ia memerintahkan agar setiap masyarakat yang mampu diwajibkan membuat bhangka (perahu) dan oleh sebab itu, ia sangat berjasa dalam mengembangkan pelayaran. Pada tahun 1750, ia wafat dan dimakamkan di Dachi Kelurahan Wali. (La Rabu Mbaru, 2016).

Lakina Wali Ke-II (La Ode Konse/1667-1721 M)

Setelah berakhirnya masa Pemerintahan Lakina Wali Ke-I/La Ode Sibi, maka tampuk kekuasaan selanjutnya diteruskan oleh saudaranya La Ode Konse sebagai Lakina Wali Ke-II (1667-1721 M). Sama seperti sebelumnya, selain bergelar sebagai kepala pemerintahan adat, ia juga bergelar sebagai Lakina Agama. Dalam tradisi Culadha Tape-Tape, suatu ketika pada pemerintahan La Ode Konse, Sultan Buton Ke-X Sultan Adilirahim/Oputa Mosabuna Ilea-Lea/La Simbata (1664-1669) merasa gelisah sebab ada pohon beringin besar yang menghalangi Kamali Sultan. Karena dikhawatirkan akan tumbang, maka Sultan Buton memanggil La Ode Konse untuk mengatasi hal tersebut. Dengan berbekal kekuatan yang luar bias dan atas ijin Allah pohon tersebut dapat dipindahkan. La Ode Konse wafat pada tahun 1721 dan dimakamkan di Benteng Koncu Patua Wali serta ia tidak meninggalkan keturunan dalam perkwinannya dengan Wa Ode Mimbali. 
Makam Lakina Wali Ke-II/La Ode Konse

Lakina Wali Ke-I (La Ode Sibi/1634-1667 M)

Berdasarkan tradisi Culadha Tape-Tape masyarakat Cia-Cia, setelah pemerintahan Lakina Wali di Pulau Binongko terbentuk, lalu Sultan Buton Ke-VI Gafarul Wadudu/Oputa Mosabuna Yi Kombewaha/La Buke (1632-1645 M) langsung melantik La Ode Sibi sebagai Lakina Wali Ke-I (1634-1667 M) sekaligus sebagai Lakina Agama pertama. Pada masa pemerintahan Lakina Wali Ke-I, Islam dijadikan sebagai sumber hukum yang utama.
Selain di kenal sebagai kepala pemerintahan adat ia juga dikenal sebagai lakina agama, karena kegigihannya dalam meneruskan penyebaran Islan di Pulau Binongko setelah Syekh Abdul Wahid. Di masa pemerintahannya, ia sempat melahirkan Hukum/Aturan Adat/Sara Adat yang disebut Tolu Mingku We’eli (Hukum Tiga Perbuatan Akhlak Manusia) dan sampai kini masih berakar dalam pake (adat/budaya) Sarano Wali Binongko.

Diakhir masa pemerintahannya di mata masyarakat Binongko ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang sholeh, disegani dan disayangi, karena ketaatannya terhadap ajaran agama Islam.
Makam Lakina Wali Ke-I/La Ode Sibi

Sejarah Pemerintahan Lakina Wali (Pemerintahan Adat)

Setelah Binongko integrasi atau menjadi bagian dari wilayah imperium Kesultanan Buton pada tahun 1334 M. Atas rekomendasi dari Sultan Buton Ke-VI Mosabuna Yi Kumbewaha (Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645 M)), maka pada tahun 1634 M membentuk suatu perwakilan pemerintahan Kesultanan Buton di Pulau Binongko dan dikenal dengan sebutan Kolaki/Lakina Wali yang berpusat di Koncu Patua Wali. Lakina Wali adalah salah satu jabatan Kesultanan Buton di Pulau Binongko sebagai kepala pemerintahan adat yang didampingi oleh Bonto Siolimbona sebagai ketua adat, Bonto Wali sebagai wakil ketua adat, Bonto Popalia sebagai wakil ketua sesepuh adat di Popalia, Jou Palahidu sebagai wakil ketua sesepuh adat di Palahidu, dan Pangalasa sebagai wakil sesepuh adat dalam memimpin sebuah musyawarah adat. Semua jabatan itu disebut dengan Sara Hu’u (Sara Adat). (La Rabu Mbaru, 2016)

Di samping Sara Hu’u (Sara Adat) juga ada Sara Agama (Kasisi Masigi) yang terdiri atas Lakina Agama (Kepala Sara Agama), Imam Masjid (Pemimpin Shalat sekaligus sebagai Wakil Kepala Sara Agama), Khatib Masjid (Pembaca Khutbah Sekaligus sebagai Anggota Sara Agama), dan Modim Masjid juga sebagai Anggota Sara Agama. Gabungan Sara Hu’u dan Sara Agama disebut Sara Hukumu (Sara Pemegang Keputusan). Sara Hukumu adalah lembaga adat yang mempunyai tugas dalam peradilan sara kadie (wilayah) yang memutuskan perkara atau menjatuhkan vonis bagi pelanggar hukum agama dan hukum sara adat setelah mendengar pertimbangan hasil musyawarah sara. Semua keputusan sara hukumu dikukuhkan dengan menyalakan Pajamara Kampa-mpaa/Kanturuno Wali sebagai Lampu Keputusan Sara. (La Rabu Mbaru, 2016)
Baruga (Tempat Musyawarah Adat Wali)